Pendakian ke
Gunung Slamet bukan hanya menantang nyali pendakinya, tetapi juga sebagai titik
awal kerjasama dengan organisasi pecinta alam lainnya.Kenikmatan dalam lelahnya
perjalanan pendakian terbayar lunas saat mencapai puncak.
Pada pendakian ini, Pasatwa yang
diwakili oleh Adimas Lukminto dan Annisa Cantika berangkat satu rombongan
dengan kelompok pecinta alam Pejaten (Palaten). Total pendaki dalam satu
rombongan berjumlah tujuh orang. Kami berangkat pada 9 Mei 2013 menggunakan bis
dari Pasar Minggu.
Gunung Slamet merupakan gunung
tertinggi di Jawa Tengah dan tertinggi kedua di Pulau Jawa, setelah Gunung
Semeru.Puncak Slametberada di ketinggian 3428 mdpl (meter di atas permukaan
laut). Secara geografis, gunung ini berada di perbatasan Kabupaten Brebes, Banyumas, Purbalingga, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Dari bis
yang mengantar kami ke Base Camp Bambangan, puncak gunung beserta gumpalan
keluaran kawah-kawah Gunung Semeru sudah terlihat. Saat itu sekitar pukul 8.00
WIB dan jarak masih sekitar puluhan kilometer sebelum sampai Base Camp.Ciptaan
vegetasi alami berupa hamparan ladang menjamu kami.
Ada tiga jalur pendakian Gunung
Slamet, yaitu Jalur Utara via Gambuhan-Jurangmangu, Jalur Selatan via
Baturraden-Gunung Malang, dan Jalur Timur via Bobotsari-Bambangan.Jalur Timur
dipilih karena jaraknya yang relatif pendek dan merupakan jalur paling aman
untuk pendakian, di antara jalur-jalur lainnya.Setelah Base Camp yang berada di
1.575 mdpl, pendakian dimulai dari Pos Pemuda pada pukul 11.00 WIB tanggal 10
Mei. Peralatan dan logistik sudah penuh di dalam tujuhtas carier yang telah
digendong oleh para pendaki. Dengan bekal mental dan target sunrise di puncak, kami semangat memulai
pendakian!
Terdapat 9 pos pendakian untuk tempat
beristirahat maupun mendirikan tenda.Kesembilan pos itu adalah Pondok Gembirung(Pos
I), Pondok Walang (Pos II), Pondok Cemara (Pos III), Pondok Samaranthu (Pos
IV), Pondok Samyang Rangkah/Mata Air (Pos V), Samyang Jampang (Pos VI), Samyang
Katebonan (Pos VII), Samyang Kendil (Pos VIII), dan Plawangan (Pos IX). Dari
semua pos, tidak semua pos mempunyai bangunan, hanya Pos I, V, dan VII saja
yang mempunyai bangunan untuk tempat berteduh.Selain itu pos tersebut hanya
berupa dataran yang cukup luas untuk mendirikan tenda ataupun beristirahat.
Pos I: Pondok
Gembirung
Perjalanan menuju Pos I cukup jauh,
sekitar 2 jam dengan kecepatan biasa.Mulanya, kami berjalan melewati perkebunan
warga berupa bawang dan sawi hijau.Vegetasi berupa semak-semak dan pohon pinus
kemudian mendominasi jalur pendakian.Berikutnya, hutan tertutup seperti secara
resmi menandai pendakian kami.Jalur yang dilalui pun mulai menyempit.Pukul
13.10 WIB, kami tiba di Pos I dan beristirahat sekitar 20 menit.
Pos II:
Pondok Walang
Sekitar pukul 14.45 WIB kami baru
sampai di Pos II. Pada Pos II tidak terdapat bangunan, akan tetapi hanya berupa
lahan datar. Setelah beristirahat cukup, kami melanjutkan pendakian.
Pos III:
Pondok Cemara
Perjalanan menuju Pos III memakan
waktu kurang lebih 2 jam. Kami tiba di sana pukul 16.37 WIB. Di sini mental dan
fisik tim sedang diuji. Memang, perjalanan pendakian di Gunung Slamet ini
membutuhkan fisik dan mental yang tinggi. Karakteristik kemiringan trek dari
gunung ini hampir seluruhnya 45 derajat.Sementara itu, lebar jalur rata-rata
hanya setapak seperti selokan. Saat musim hujan, jalur itu terisi penuh oleh
air dari puncak.
Semakin ke atas, jalur yang dilalui
semakin sempit.Dibutuhkan lebih banyak konsentrasi untuk menjaga keseimbangan
badan kita yang membawa carrier.Jika
terdapat pohon-pohon besar maupun kecil yang tumbang,kami harus melompat atau
menunduk untuk melewatinya.Dengan carrier
berbobot 40-70 liter, tentu hambatan ini tidak mudah.Mental yang kuat dan
fisik yang prima sangat dibutuhkan.
Pos IV:
Pondok Samarantu
Hari sudah semakin gelap.Stamina
masing-masing pendaki pun sudah menurun.Menariknya dalam perjalanan ke Pos IV
ini, kami menemui fauna berupa sekelompok lutung yang sedang berlompat-lompat
di pohon-pohon.Sebelumnya juga banyak ditemukan burung dengan suara-suara yang
khas.Tepat pukul 17.33 WIB kami tiba di Pos IV dan memutuskan untuk membuka
tenda di sana.
Dua tenda berkapasitas masing-masing
empat orang cukup untuk melindungi kami.Dilanjutkan dengan memasak dan
istirahat. Kami juga bertemu rombongan pendaki lain yang beristirahat di dekat
tenda-tenda kami. Suasana menjadi cair dan hangat.Pukul 02.00 WIB, lima dari
tujuh orang rombongan kami meneruskan pendakian ke puncak tanpa membawa carrier. Tujuan kami cukup ambisius:
melihat sunrise di puncak Slamet!
Tanggal 9-10 Mei kali itu, banyak
sekali pendaki yang nanjak. Di
sepanjang perjalanan, kami selalu bertemu pendaki lain yang turun maupun naik.
Pendaki ini berasal dari berbagai daerah, diantaranya Jakarta, Jogja, Banyumas,
dan lain-lain.Sama seperti kami, mereka pun berasal dari rombongan yang
berbeda-beda.Bahkan ada bule dari
Jerman yang kami temui ketika hampir mencapai puncak.I love hiking in Indonesia! :)
Perjalanan ke Pos V dan pos-pos selanjutnya
sudah tidak jauh lagi.Hanya sekitar 0,3-0,6 km. Pukul 04.00 pagi kami mulai
mendaki dengan bekal seperlunya.
Pos V:
Samyang Rangkah/Mata Air
Pukul 05.15 kami sampai di Pos V yang
mempunyai sumber mata air.Ketika kami sampai di sana, hari masih gelap. Karena
diestimasikan kami tidak akan mendapatkan sunrise
di Puncak, maka perjalanan dihentikan sejenak untuk mendapatkan sunrise. Satu-persatu pendaki yang
berteduh, keluar dari tendanya sambil membawakan beberapa penganan bahkan
membuatkan kopi atau teh. Jamuan ini adalah kenikmatan lain sebagai pendaki.
Lalu gurauan, tawa hangat, dan saling berbagi kontak pun meluncur.Diselingi
dengan teh hangat asli dari Tegal, kami menyesap oksigen dalam-dalam.
Keadaan di Pos V ini berbeda dengan pos-pos
sebelumnya.Di sini kami dapat melihat view
lepas karena pohon-pohon di sini pendek-pendek.Untuk pertama kalinya dalam
perjalanan kali ini kami dibayar dengan pemandangan yang luar biasa.Tampak biru
gunung kembar (Sumbing-Sindoro) dan Gunung Merbabu di kejauhan.Berdiri gagah
seperti menantang kami untuk menaklukkan puncaknya, bersambut indah dengan
latar belakang jingga dari semburat matahari.Lambat laun, matahari tidak lagi
mengintip.Kami harus sampai puncak sebelum pukul 10.00.Jika tidak, empat kawah Slamet
bisa saja menghembukan gas-gas beracunnya yang justru menghambat kami turun
gunung.
Pos VI, VII,
VIII
Butuh waktu sekitar 30 menit ke
setiap Pos ini (Pukul 06.30 di Pos VI, pukul
07.00 di Pos VII, dan pukul 07.30 di Pos VIII). Pos VII hanya berupa
lahan sempit dan tidak bisa didirikan tenda, Pos VII lahannya juga tidak
terlalu luas tapi terdapat bangunan di sana, Pos VIII juga sempit dan tidak
dapat didirikan tenda. Area setelah pos VI juga sering disebut hutan mati
karena pepohonan yang ada layaknya pohon mati -kering, tidak
berdaun.Hal ini dikarenakan pernah terjadi kebakaran di sekitar kawasan
tersebut.Hal itu terlihat dari bekas karbon yang masih jelas dan beberapa
batang pohon yang masih putih.Banyak pohon pendek dengan tinggi sekitar 2-4
meter dan view-nya sudah sangat menakjubkan!
Pos IX:
Plawangan
Pos IX merupakan batas vegetasi di
Gunung Slamet.Setelahnya,tidak ada lagi tanaman setelah pos ini.Jaraknya dekat
dengan Pos VIII sekitar 15 menit.Di sini sering ditemui tanaman Edelweis Jawa
tapi bunganya belum mekar.Edelweis Jawa ini sempat punah akibat kebakaran hebat
pada 1995.
Puncak Slamet
3428 mdpl
Inilah
ujian terakhir kami!
Setelah melewati batas vegetasi, yang
ada hanyalah batuan yang mengantarkan kami menuju puncak Slamet 3428 mdpl.Kali
ini, tantangannya sulit.Treknya berupa batuan-batuan tajam dan pasir.
Kemiringan trek ini lebih curam dari sebelumnya. Perlu kehati-hatian ekstraagar
tidak terpeleset.Nafas juga harus diatur, jangan terlalu terburu-buru naik
karena akanmudah kehabisan nafas mengingat kadar oksigen yang semakin menipis
serta angin dingin yang berhembus. Pelan-pelan tapi konstan. Tantangan lain
juga diberikan oleh awan-awan putih yang sudah seperti berada di bawah kaki
gunung. Pemandangan indah pemukiman warga diselingi vegetasi hijau membuat
ingin duduk lama di antara batuan-batuan trek.Pesona ini memperlambat durasi
menuju puncak.Dari Pos IX ke Puncak, kami membutuhkan waktu 45 menit.
Akhirnya, dengan segala jerih payah
kami berhasilsampai di ketinggian 3428 mdpl. Puncak Slamet bener-bener keren!
Slamet itu unik, badannya hutan tapi kepalanya batuan.Anginnya semilir sejuk.
Di depan ada 2 kawah Slamet yang masih aktif. Di sekelilingnya banyak awan-awan
yang mengalir terbawa angin.Panji Pasatwa akhirnya berkibar di Puncak Slamet!
Kata Dimas:
Kalo bisa
dinaikin, gua bakal jadi sun goku J. Kalo liat ke belakang-ini yang paling keren, view nya manteb banget! Gua bisa ngeliat kota
purbalingga dan sekitarnya dari atas dan gunung sumbing-sindoro dan merbabu
dengan hiasan awan-awannya. Beuuh..manteb banget!
Dan yang ga kalah
penting adalah panji Pasatwa bisa berkibar di Puncak Slamet 3428 mdpl! Gua sama
Acan seneng banget bisa ngibarin panji Pasatwa di sanaJ.
Kata Nisa:
Woaaa! Gue sampai
puncak! Puncak gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa! Pemandangannya keren
banget.Sepi, sejuk, hangat, tenang.Di puncak gini, Tuhan kerasa deket banget
dan kehidupan modern sudah jauh ditinggalkan di bawah. Pas banget untuk kontemplasi!
Hai Pasatwa, gue
dan Dimas udah sampai di Slamet. Tiga-ribu-empat-ratus-dua-puluh-delapan!
Setelah puas menikmati pemandangan di
puncak, pukul 11.00 kami mulai turun dan sekitar pukul 13.30 berhasil kembali
ke Pos IV.Kegiatan dilanjutkan dengan masak dan makan kemudian beres-beres
untuk perjalanan pulang.
Pukul 15.10 WIB, kami mulai turun.Perjalanan
turun gunung sebenarnya mudah jika tidak memakai sandal gunung. Sandal gunung
justru mudah membuat terpeleset karena curamnya kemiringan trek. Perjalanan
juga bertambah sulit karena gelap mulai turun sedangkan stamina sudah
terkuras.Konsentrasi tinggi sangat dibutuhkan.Dengan hanya berbekal senter sebagai
penerangan dan pikiran yang dipaksakan untuk tetap berpikir positif, kami
meniti pelan-pelan dataran sabana antara Pos I dan Pos Pemuda.Kami sampai di
Base Camp Bambangan pada pukul 19.30 WIB.
Kami tidak memaksakan untuk pulang
tapi bermalam dulu di sana dan pulang keesokan harinya. Dengan naik bus, kami
sampai kembali di Jakarta dari Sabtu 11 Mei.
Kerjasama
adalah harapan untuk keberlangsungan organisasi, pun suatu langkah vital dalam
meningkatkan frekuensi pendakian Pasatwa nantinya.Perencanaan pendakian dengan
menjaring komunitas atau organisasi pendaki hingga perjalanan pendakiannya
sendiri adalah tempat berjejaring.Mendaki bukan cuma perihal menantang mental
dan fisik.Mendaki juga mampu menerbitkan asa, bahwa batas yang dibuat diri
sendiri selama ini masih dilampaui. Apapun batasnya.
Bravo
Pasatwa! Pasatwa 2013: Solid-Inklusif!
Oleh:
Adimas Lukminto dan Annisa Cantika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar